[Ilustrasi Gambar] |
Blog Bisnis Online - Berbahagialah bagi sobat online semua yang saat ini masih memiliki kedua orang tua yang masih lengkap atau minimal salah satu darinya, entah itu ayah saja ataupun ibu saja. Sobat bisa membaktikan diri sobat kepada orang tua sobat selagi mereka masih hidup didunia ini.
Ada beberapa bait syair lagu yang sangat inspiratif sekali dan mengingatkan kita akan sesuatu hal yang sangat penting, ini dia syairnya, "Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga" demikianlah penggalan lagu dari Bung Haji Rhoma Irama ini.
Dalam kisah ini saya mendapatkan sebuah cerita inspiratif dari seorang sahabat yang sengaja tidak saya sebutkan namanya demi untuk menjaga kerahasiaan dalam privasinya. Kisah ini berbuah sebuah penyesalan yang sangat luar biasa dari nara sumbernya sendiri. Berikut ini kisahnya...
Jauh dipelosok kampung hiduplah sepasang suami istri yang sudah mulai renta. Mereka memiliki 4 orang putra dan putri yang telah dewasa semuanya. Sehingga tidak ada satupun dari anaknya yang hidup mendampinginya ketika usia mereka sudah muluai udzur.
Kedua suami istri ini adalah sosok orang tua yang taat beribadah, terutama sang ayah. Karena disetiap ibadah shalat 5 waktu sang ayah selalu melakukannya dengan berjama'ah dimasjid secara istiqomah. Hingga pada akhirnya ia jatuh sakit selama kurun waktu 2 bulan.
Dalam kondisi sakit ini sang ayah mulai mengalami kejadian-kejadian yang cukup aneh diantara sadar dan tak sadar, bahkan sering mengigau. Kondisi fisiknya sudah benar-benar payah karena sakit yang dideritanya begitu hebat selama 2 bulan belakangan ini.
Anak-anaknya yang jarang pulang karena mereka memang hidup berkeluarga jauh diluar kota, kini mulai berdatangan silih berganti dan bergiliran untuk menjaganya. Mereka ini memang anak yang sholih dan sholihah hasil dari didikan dari kedua orang tua yang sholih dan sholihah seperti mereka.
Pada suatu malam, tibalah giliran anak keduanya untuk menjaga sang ayah yang sedang terbaring sakit. Anak keduanya ini memang jarang banget pulang kampung karena kesibukannya diluar kota. Berbeda dengan 3 sudaranya yang lain yang masih bisa pulang kampung walaupun setahun sekali ataupun dua kali.
Anak yang kedua ini hampir-hampir tidak pernah pulang karena memang kondisi kesibukannya diluar kota sana. Tiba-tiba sang ayah mengigau, "Pak Sholih mana, aku sakit begini rupa kok ia tidak menjengukku?" tanya sang ayah dalam igauannya. Sang anak menjawab, "Pak Sholih sedang sakit juga pak..."
Pak Sholih adalah sahabat akrab sang ayah yang selalu pergi bersama-sama kemasjid untuk shalat berjama'ah dikala ia sehat, "Lha kamu siapa?" sang ayah kembali bertanya. "Saya Abdul, anak kedua ayah..." demikian anaknya menjawab. Abdul adalah nama samaran, bukan nama yang sesungguhnya.
"Tidak mungkin, kamu bukan Abdul. Abdul itu tidak mungkin pulang, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak pernah punya waktu untuk pulang menjenguk orang tuanya, kehadirannya itu selalu ia gantikan dengan uang, kamu jangan bohong!" sanggah sang ayah. "Betul ayah, ini Abdul anakmu..." kata sang anak sambil berurai air mata karena tak kuasa menahan kesedihannya yang teramat dalam.
"Lekas panggil ibu kemari, aku mau dipijit olehnya..." perintah sang ayah. Ibu adalah panggilan akrab sang ayah untuk istrinya. Tak lama kemudian si Abdul sembari berurai air mata memanggil ibunya. Dan keesokan harinya sang ayah pun menghembuskan nafas terakhirnya dan pergi untuk selama-lamanya mengahadap panggilan Allah SWT.
Suasana berkabung bercampur sedih pun tak dapat dibendung lagi, terutama bagi Abdul anak kedua dari sang ayah yang jarang pulang karena kesibukannya. Kata-kata ayahnya sebelum meninggal benar-benar menghunjam kedalam relung hatinya, yang menjadikan ia tersadar betapa selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga melupakan tanggung jawabnya sebagai anak terhadap orang tuanya.
Sebetulnya Abdul ini anak yang cukup sholih, namun karena kesibukannya menjadikan ia jarang pulang. Kabar kedua orang tuanya selalu ia dapatkan melalui telephon dan masalah ekonomi ia selalu support dengan mengirimkan sejumlah uang rutin disetiap bulannya. Kini ia tersadar, bahwa uang tidak cukup menggantikan semua itu, tidak semuanya bisa digantikan dengan uang, ia benar-benar menyesali sikapnya yang salah selama ini.
Ketika dulu sang ayah masih sehat dan ditanya oleh anak-anaknya yang pulang dan juga para tetangga kenapa si Abdul jarang pulang, ia selalu menjawab dengan ramah dan menjelaskan bahwa si Abdul sebetulnya ingin pulang, tapi karena kesibukannya yang tidak bisa ia tinggalkan maka ia belum bisa pulang kampung.
Ternyata dibalik keramahan dan kesabaran sang ayah tersebut, tersimpan rasa rindu yang tertahan selama bertahun-tahun kepada anak keduanya ini dan hal itu hanya ia pendam sendiri tanpa ia ungkapkan kepada siapapun hingga ia mengigau dan sampai akhirnya ajal pun datang menjemputnya.
Cerita inspiratif dari ratapan sang ayah ini semoga membuka mata hati dan pikiran kita sebagai seorang anak yang masih memiliki orang tua yang masih hidup agar bisa lebih memperhatikannya. Tidak semuanya bisa digantikan dengan uang, salah satunya adalah kasih sayang. Sampai nanti dan salam sukses selalu...
Ada beberapa bait syair lagu yang sangat inspiratif sekali dan mengingatkan kita akan sesuatu hal yang sangat penting, ini dia syairnya, "Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga" demikianlah penggalan lagu dari Bung Haji Rhoma Irama ini.
Dalam kisah ini saya mendapatkan sebuah cerita inspiratif dari seorang sahabat yang sengaja tidak saya sebutkan namanya demi untuk menjaga kerahasiaan dalam privasinya. Kisah ini berbuah sebuah penyesalan yang sangat luar biasa dari nara sumbernya sendiri. Berikut ini kisahnya...
Jauh dipelosok kampung hiduplah sepasang suami istri yang sudah mulai renta. Mereka memiliki 4 orang putra dan putri yang telah dewasa semuanya. Sehingga tidak ada satupun dari anaknya yang hidup mendampinginya ketika usia mereka sudah muluai udzur.
Kedua suami istri ini adalah sosok orang tua yang taat beribadah, terutama sang ayah. Karena disetiap ibadah shalat 5 waktu sang ayah selalu melakukannya dengan berjama'ah dimasjid secara istiqomah. Hingga pada akhirnya ia jatuh sakit selama kurun waktu 2 bulan.
Dalam kondisi sakit ini sang ayah mulai mengalami kejadian-kejadian yang cukup aneh diantara sadar dan tak sadar, bahkan sering mengigau. Kondisi fisiknya sudah benar-benar payah karena sakit yang dideritanya begitu hebat selama 2 bulan belakangan ini.
Anak-anaknya yang jarang pulang karena mereka memang hidup berkeluarga jauh diluar kota, kini mulai berdatangan silih berganti dan bergiliran untuk menjaganya. Mereka ini memang anak yang sholih dan sholihah hasil dari didikan dari kedua orang tua yang sholih dan sholihah seperti mereka.
Pada suatu malam, tibalah giliran anak keduanya untuk menjaga sang ayah yang sedang terbaring sakit. Anak keduanya ini memang jarang banget pulang kampung karena kesibukannya diluar kota. Berbeda dengan 3 sudaranya yang lain yang masih bisa pulang kampung walaupun setahun sekali ataupun dua kali.
Anak yang kedua ini hampir-hampir tidak pernah pulang karena memang kondisi kesibukannya diluar kota sana. Tiba-tiba sang ayah mengigau, "Pak Sholih mana, aku sakit begini rupa kok ia tidak menjengukku?" tanya sang ayah dalam igauannya. Sang anak menjawab, "Pak Sholih sedang sakit juga pak..."
Pak Sholih adalah sahabat akrab sang ayah yang selalu pergi bersama-sama kemasjid untuk shalat berjama'ah dikala ia sehat, "Lha kamu siapa?" sang ayah kembali bertanya. "Saya Abdul, anak kedua ayah..." demikian anaknya menjawab. Abdul adalah nama samaran, bukan nama yang sesungguhnya.
"Tidak mungkin, kamu bukan Abdul. Abdul itu tidak mungkin pulang, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak pernah punya waktu untuk pulang menjenguk orang tuanya, kehadirannya itu selalu ia gantikan dengan uang, kamu jangan bohong!" sanggah sang ayah. "Betul ayah, ini Abdul anakmu..." kata sang anak sambil berurai air mata karena tak kuasa menahan kesedihannya yang teramat dalam.
"Lekas panggil ibu kemari, aku mau dipijit olehnya..." perintah sang ayah. Ibu adalah panggilan akrab sang ayah untuk istrinya. Tak lama kemudian si Abdul sembari berurai air mata memanggil ibunya. Dan keesokan harinya sang ayah pun menghembuskan nafas terakhirnya dan pergi untuk selama-lamanya mengahadap panggilan Allah SWT.
Suasana berkabung bercampur sedih pun tak dapat dibendung lagi, terutama bagi Abdul anak kedua dari sang ayah yang jarang pulang karena kesibukannya. Kata-kata ayahnya sebelum meninggal benar-benar menghunjam kedalam relung hatinya, yang menjadikan ia tersadar betapa selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga melupakan tanggung jawabnya sebagai anak terhadap orang tuanya.
Sebetulnya Abdul ini anak yang cukup sholih, namun karena kesibukannya menjadikan ia jarang pulang. Kabar kedua orang tuanya selalu ia dapatkan melalui telephon dan masalah ekonomi ia selalu support dengan mengirimkan sejumlah uang rutin disetiap bulannya. Kini ia tersadar, bahwa uang tidak cukup menggantikan semua itu, tidak semuanya bisa digantikan dengan uang, ia benar-benar menyesali sikapnya yang salah selama ini.
Ketika dulu sang ayah masih sehat dan ditanya oleh anak-anaknya yang pulang dan juga para tetangga kenapa si Abdul jarang pulang, ia selalu menjawab dengan ramah dan menjelaskan bahwa si Abdul sebetulnya ingin pulang, tapi karena kesibukannya yang tidak bisa ia tinggalkan maka ia belum bisa pulang kampung.
Ternyata dibalik keramahan dan kesabaran sang ayah tersebut, tersimpan rasa rindu yang tertahan selama bertahun-tahun kepada anak keduanya ini dan hal itu hanya ia pendam sendiri tanpa ia ungkapkan kepada siapapun hingga ia mengigau dan sampai akhirnya ajal pun datang menjemputnya.
Cerita inspiratif dari ratapan sang ayah ini semoga membuka mata hati dan pikiran kita sebagai seorang anak yang masih memiliki orang tua yang masih hidup agar bisa lebih memperhatikannya. Tidak semuanya bisa digantikan dengan uang, salah satunya adalah kasih sayang. Sampai nanti dan salam sukses selalu...
0 Response to "Ratapan Sang Ayah"
Post a Comment